Rabu, 05 Desember 2007



TREND 2007 : SIAPA KONSUMEN AKHIR ANTHURIUM?
Sabtu, 01-Desember-2007, 17:25:17

Rhenald Kasali PHd, pakar pemasaran, punya pandangan menarik tentang bisnis anthurium yang bergelora. "Pasar anthurium tidak bisa dikendalikan. Aksi-aksi kecurangan tidak dibatasi undang-undang. Pada prinsipnya, setiap bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, juga berisiko besar. Begitu juga anthurium, kita harus hati-hati," ujarnya. Meski demikian, ia melihat popularitas anthurium, termasuk aglaonema merupakan perkembangan baik.

Berikut wawancara Imam Wiguna, wartawan Trubus, dengan Rhenald Kasali PhD, Pakar pemasaran ternama, tentang bisnis anthurium dari kacamata pemasaran.


Apa yang memicu fenomena anthurium seperti sekarang?


Sekarang ini kita memasuki era the dream society. Pada era seperti itu, masyarakat membeli sesuatu karena cerita di balik produk itu. Jadi, apa pun produknya kalau bisa dibikin cerita dan itu menjadi histeria massa, maka menjadi suatu yang populer. Dalam pemasaran, ada yang disebut pop marketing.


Fenomena pop marketing seperti kasus Inul Daratista. Popularitasnya mencuat setelah ditekan raja dangdut sehingga orang-orang bersimpati. Pamornya menjadi naik, tapi kemudian hilang. Fenomena itu cuma sesaat. Jadi bukan karena Inul nyanyinya bagus, tetapi karena cerita tentang dirinya yang menarik.


Cerita bahwa Inul teraniaya, orang bersimpati, goyangnya ngebor, dan punya keistemewaan tertentu yang berbeda dengan yang lain. Kalau cerita itu bisa diperoleh, akan menjadi hit. Tapi umurnya ada yang panjang, ada juga yang pendek.


Adakah contoh yang berumur panjang?


Yang berumur panjang biasanya pariwisata, karena memang dipelihara. Misalnya Danau Loch Ree di Irlandia Utara, yang dipercaya dihuni monster. Padahal itu hanya gejala alam. Yang seperti itu umurnya panjang, selama bisa melestarikan gejala alam itu. Contoh lain, cerita tentang batu gantung di Danau Toba.


Bagaimana dengan anthurium?


Pada tanaman atau pun ikan hias, biasanya umurnya pendek. Yang agak panjang umurnya barangkali ikan arwana karena sulit membudidayakannya. Kalau mudah, juga akan cepat hilang. Fenomena anthurium juga disebabkan cerita yang dibuat seputar tanaman hias itu.


Dalam hal ini media punya peranan karena memotret kondisi masyarakat dan histeria orang-orang terhadap tanaman itu. Begitu juga pameran-pameran tanaman hias yang sekarang ini selalu ramai pengunjung.


Adakah komoditas lain yang mengalami fenomena seperti itu?


Masih ingat soal cacing? Itu juga kan cuma sebentar. Komoditas pertanian kalau kelebihan pasokan, harga jatuh. Apalagi kalau dia mudah dibudidayakan dan diperbanyak. Menurut pengalaman saya, anthurium itu mudah. Cuma perlu waktu saja. Saya sudah 5 tahun pelihara anthurium. Bertahun-tahun saya simpan di depan ngga ada yang melirik. Dulu saya beli cuma Rp75.000. Saya lihat memang bagus. Saya suka tanaman yang tidak dimiliki orang banyak.


Pada kasus cacing masalahnya adalah tidak ada end user. Saya takut anthurium juga begitu. Waktu itu saya beli bukan karena mahal, tetapi karena lagi murah. Harga Rp75.000 waktu itu masih cukup mahal. Dengan harga Rp20-juta-Rp200-juta, saya curiga tidak ada end user-nya. Pada saat cacing sedang ramai dulu, saya pernah tanya seorang peternak, buat apa? Katanya bagus buat kosmetik.


Ternyata ketika saya telusuri, pasar yang benar-benar untuk kosmetik itu tidak pernah ditemukan. Saya khawatir pada anthurium juga terjadi pasar imajiner. Orang beli tanaman hanya untuk dijual lagi dengan harga lebih tinggi. Jadi pasarnya pedagang kan? Bukan konsumen? Produk yang pasaran, harganya pasti tidak akan tinggi.


Contoh mobil Toyota. Begitu Toyota Kijang semua orang bisa beli, harganya sekitar Rp100- juta- Rp250-juta. Ia ngga bisa dijual dengan harga Rp500-juta. Harga setinggi itu sudah masuk kelas mewah seperti Crown, Lexus, BMW, Volvo, Audi, dan jumlahnya sedikit. Masyarakat memandang anthurium dan tanaman hias lain sebagai peluang usaha.


Apakah dengan fenomena seperti itu, tanaman hias merupakan lahan investasi yang baik?


Tanaman hias merupakan komoditas yang sudah menjadi kebutuhan. Popularitas aglaonema atau anthurium adalah perkembangan baik. Lonjakan yang di-push menjadi letupan-letupan menunjukkan bahwa tanaman hias menjadi industri yang dibutuhkan masyarakat. Nah, kalau untuk investasi, tergantung bidang usaha yang akan digeluti.


Apakah mau jadi pembudidaya, pedagang kecil, pengumpul, atau membuka pelatihan? Orang harus memilih menjadi pelaku usaha yang mana. Kecuali Anda memiliki reputasi tertentu sehingga orang datang dengan sendirinya untuk membeli tanaman.


Menurut Anda, bidang usaha apa yang paling menguntungkan?


Dalam hal ini yang menguntungkan adalah menjadi pedagang. Sebab, ia hanya menentukan harga beli dan harga jual. Pedagang itu bisa mengendus pasar. Kalau terjun di budidaya, seringkali tidak menguasai informasi pasar. Ia hanya tahu hubungannya dengan pedagang. Petani kadang-kadang tidak tahu informasi pasar yang benar sehingga mudah tertipu.


Begitu harga tinggi, baru membudidayakan. Padahal rumus pengusaha, beli di saat murah, jual ketika harga tinggi. Terkadang petani bertindak sebaliknya, membeli di saat harga tinggi karena ada histeria massa. Begitu menjual harga sudah turun. Saya dengar dari rekan yang bermain tanaman, ada importir yang mendatangkan anthurium secara besar-besaran dari Thailand dan menjualnya dengan harga murah.


Akibatnya, harga anthurium di tanahair jatuh. Pada kondisi seperti ini, siapa yang untung? Pedagang kan? Kalau jadi petani, jangan hanya memasok ke toko-toko. Dalam bisnis di dream society, jangan cari uang, tapi bangunlah brand image (citra merek, red). Jika image tertanam, ia akan menjadi pencipta isu, momentum, dan sumber berita. Semua orang akan bertanya ke dia karena ia telah menjadi pakar. Berapa pun produk yang ia jual akan dibeli orang. Tapi kalau jadi follower, tidak bisa seperti itu.


Bagaimana mempertahankan bisnis yang berdasarkan tren?


Ini kan fenomena pop marketing. Kalau fenomena pemasaran yang biasa, suatu produk melalui siklus produk yang panjang. Pada pop marketing, dalam siklusnya terdapat gejolak-gejolak. Trennya sangat pendek, cuma 2-3 tahun. Suatu produk yang terlalu dipacu agar cepat melejit di pasaran, akan cepat hilang juga. Untuk mempertahankannya cukup sulit. Yang bisa dilakukan adalah mengambil keuntungan sesaat. Selalu membeli pada saat harga akan naik.


Begitu menjadi berita besar, lepas semua produk dan beralih ke komoditas lain. Ikuti saja tren. Jika ingin aman, main di produk yang abadi. Yang abadi itu harganya murah, konstan, tetapi yang beli ada terus. Apakah harus selalu menghadirkan yang terbaru untuk melanggengkan tren? Masalahnya satu orang pemain tidak dapat mendikte pasar.


Harus ada konsensus dalam pasar. Konsensus dibentuk oleh berbagai hal. Misalnya namanya antik apa tidak. Contoh, kenapa wave of love berkembang? Karena kata wave of love itu menarik. Nama aslinya kan anthurium. Tetapi begitu diganti gelombang cinta karena daunnya bergelombang, lalu menjadi wave of love, orang menjadi wah…! Bisa menjadi cerita.


Jadi dengan memberikan nama yang khas, pemiliknya hanya sedikit, dan media mempublikasikannya, timbullah histeria massa. Lalu orang tertarik untuk berinvestasi. Terjadilah kejutan. Kalau ada komoditas yang seperti itu, bisa. Tapi lagi-lagi masuklah ketika harga masih rendah. Begitu mencapai puncak, segera lepas produk karena masa puncak tidak datang 2 kali. Begitulah pop marketing.


Bila dibandingkan dengan pasar modal, mana yang lebih berisiko?


Pasar modal itu berbeda. Para pelaku pasar modal dapat memantau pasar setiap saat. Pagi ia membeli saham, sore mungkin bisa dijual kembali. Pergerakan harga setiap waktu dapat dipantau.


Mereka juga dilindungi oleh undang-undang, lembaga pengawas seperti Bapepam. Anthurium? Kondisinya sebaliknya. Oleh sebab itulah pasar anthurium tidak bisa dikendalikan. Aksi-aksi kecurangan tidak dibatasi undang-undang. Pada prinsipnya, setiap bisnis yang menjanjikan keuntungan besar, juga berisiko besar. Begitu juga anthurium, jadi harus hati-hati. *** Dikutip dari TRUBUS edisi Desember 2007
7 KARAKTER PEMBELI/ CALON PEMBELI TANAMAN HIAS
Senin, 08-Oktober-2007, 01:10:34

Para pemasar berpengalaman menganggap, mengenali konsumen atau calon konsumen merupakan langkah awal kesuksesan dalam menjual produk. Penjual tanaman juga harus mengenali siapa konsumennya. Maaf, ternyata ada juga konsumen pengutil, yakni konsumen yang suka ngutil. Aduh mak!

Para pemasar berpengalaman menganggap, mengenali konsumen atau calon konsumen secara lebih dini merupakan langkah awal kesuksesan kita dalam menjual produk. Tanpa mengenali mereka, kita bisa frustrasi. Tujuannya bisa bermacam-macam. Antara lain untuk memudahkan Anda dalam melakukan teknik promosi.

Dalam hal ini, tujuannya membuat mereka mau membeli, atau membeli lebih sering, atau lebih banyak membeli. Dalam ilmu marketing, konsumen atau calon konsumen biasa disebut target market. Secara teori, ada target umum, misalnya berdasar jenis kelamin, lokasi dlsb. Kemudian dirinci lebih spesifik lagi, misalnya berdasarkan psychografis berdasarkan selera dan gaya hidupnya.

Di sini, karakter konsumen dan calon konsumen tanaman hias kita bikin mudah saja.
Yaitu:

1. Konsumen Pemula Konsumen pemula tidak selalu membuat hati kita kecut. Ada banyak pemula yang dengan rendah hati bertanya ini-itu. Jawab saja pertanyaannya dengan ramah dan sopan. Dia adalah calon pelanggan Anda di kemudian hari.

2. Konsumen Curiga Ada konsumen yang datang ke nursery dengan rasa curiga bahwa Anda menjual barang gelap dengan harga gelap dan untung Anda berlipat. Jadi dia akan menawar di bawah harga kepantasan. Perhatikan dialog berikut: Konsumen: Tanaman ini harga berapa? Pedagang: 1 juta Konsumen: 100 ribu ya? Jangan marah. Orang awam mungkin tidak tahu bahwa, tanaman hias pun ada harga pasarannya. Ada harga tanaman yang dihitung per helai daun, seperti aglaonema, ukuran caudex (bonggol atau umbi tanaman) seperti adenium dan pachypodium, ada yang berdasarkan sosoknya seperti Anthurium, dan ada yang dinilai berdasarkan jumlah percabangannya seperti Puring dan lain sebagainya. Kita jelaskan saja baik-baik.

3. Konsumen Pengadu Domba Ada jenis konsumen lain lagi, yaitu yang suka mengadu domba. Mungkin karena menganggap Anda adalah domba yang layak diadu-adu. Konsumen jenis ini suka mengatakan bahwa harga di nursery lain lebih murah daripada barang yang Anda tawarkan. Kalau Anda menganggap informasinya menyesatkan, jangan gusar. Katakan saja padanya dengan sopan, bahwa Anda perlu barang yang murah itu, dan minta dia membelikannya untuk Anda. Kalau perlu Anda memberinya komisi atau keuntungan. Tapi kalau informasinya benar, atau masuk akal, Anda sebaiknya introspeksi diri.

4. Konsumen Pengutil Ada lagi jenis konsumen yang suka--maaf— mengutil. Dia sering bertanya apa saja, yang pada intinya bertujuan agar Anda bingung dan linglung, dan pada akhirnya setelah konsumen tersebut pergi, Anda mendapatkan ada tanaman yang hilang. Konsumen jenis ini tidak selalu kumal. Kadang dan biasanya malah berpenampilan perlente. Kalau menghadapi konsumen jenis ini, segera angkat telepon, panggil satpam atau petugas keamanan.

5. Konsumen Yang Loyal Pada Harga Inilah tipikal konsumen tanaman hias pada umumnya. Loyalitasnya hanya pada harga bukan pada Anda. Kalau harga nursery kompetitor Anda lebih murah dia akan lari ke sana. Yang bisa kita lakukan hanyalah mawas diri.

6. Konsumen Banyak Uang Ini yang kita cari. Uangnya banyak, tidak cerewet, lagi penurut. Tapi hati-hati menanganinya. Bagi mereka biasanya mutu tanaman nomor satu. Anda harus menyuguhkan hanya yang terbaik. Sekali kecewa, mereka pindah ke lain nursery.

7. Konsumen Kumuh Kumuh? Wah, itu kata Anda. Karena di dunia tanaman hias sesungguhnya penampilan kumuh atau perlente tidak pernah mengatakan apa-apa. Banyak konglomerat, purnawirawan atau bos-bos besar keluar-masuk nursery sengaja memakai kaos oblong dan celana pendek. Pasti bukan untuk memperdaya kita, agar kita menjual murah, melainkan karena begitulah memang kepribadian mereka yang sejati: sederhana, apa adanya. Ada pepatah bilang: Don’t judge the book from the cover. Jangan menghakimi orang dari penampilannya. Pedagang tanaman hias sejati yang punya nursery yang terbuka untuk umum, berkewajiban menyambut siapa saja tamunya. Jangankan orang berpenampilan kumuh, maling pun harus kita sapa dengan ramah, agar mau membeli dagangan kita. Kita harus bersikap seperti Pak Jogger, pedagang t-shirt di Kuta, Bali: "Belanja Tidak Belanja, tetap Thank You.". Anda bisa?

(Dikutip dari buku JURUS SUKSES BINIS TANAMAN HIAS, Kurniawan Junaedhie, PT Agro Media Pustaka, Jakarta 2007)

Kamis, 15 November 2007




Bisnis Tanaman Hias Ala Jurnalis





Ketika Kurniawan Junaedhie bercerita akan menjual tanaman hias di Internet, banyak petani tanaman hias melecehkannya. “Mana ada petani main Internet dan buka Internet, kata mereka,” cerita Mas KJ, demikian biasa bapak dua anak ini disapa. Sekarang omzet toekangkeboen.com sebulan rata-rata Rp 40 juta.

Kurniawan Junaedhie, mantan wartawan, sudah lama berhobi mengoleksi tanaman hias. Ia terutama mengoleksi tanaman hias jenis Adenium dan Euphorbia, dua jenis tanaman hias yang sedang popular saat ini. “Saya punya puluhan Adenium dan belasan Euphorbia selain tanaman hias lainnya seperti Philodendron, Dracaena,” kata Junaedhie bercerita.

Mei 2004 Junaedhi ditawari oleh pemilik kios tanaman hias tempat ia biasa membeli tanaman hias untuk dikoleksi di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), apakah berminat menyewa lahan di bursa tanaman hias. Bursa tanaman hias BSD waktu itu di dekat gedung Geman Center.

“Konsep saya simpel saja. Saya mau jual tanaman hias di Internet. Atau dengan kata lain, saya mau mempromosikan sekaligus memasarkan produk-produk saya melalui Internet. Jadilah saya membuat toekangkeboen.com,” kata pemilik situs komersil Internet indokado.com ini.

Tidak semua sependapat dengan gagasan Junaedhi menjual tanaman di Internet. Teman-temannya para petani tanaman hias melecehkannya. Ada teman ahli marketing terkenal (Junaedhie tidak bersedia menyebutkan namanya) berpendapat Junaedhie anti-marketing dan anti-logika.

Semua itu tidak menyurutkannya. Junaedhie memberi dua alasan yang membuatnya terus maju. Pertama, ia senang dengan tanaman hias, tahu dan punya produk tanaman hias. Kedua, ia tahu bagaimana berbisnis di Internet. Situs Indokado.com atau indoflorist.com adalah bukti dari keberhasilan lainnya berdagang di Internet.

Dengan modal awal sekitar Rp 25 juta, untuk sewa saung, membuat bangunan saung, dan beli tanaman awal, sekarang bisnis toekangkeboen.com sudah beraset lebih dari Rp 400 juta, belum termasuk aset fisik, dengan omzet per bulan rata-rata Rp 40 juta.

Sejak diluncurkan toekangkeboen.com, berdatanganlah pembeli-pembeli online dari luar kota, luar Pulau Jawa di seluruh Indonesia. “Yang datang ke saung saya pun kebanyakan dari luar BSD, luar Tangerang, luar kota, bahkan luar pulau,” ungkap KJ.

Sehingga sekarang KJ berani berpromosi, “Siap kirim ke seluruh Indonesia.” Dan memang, “Tiada hari tanpa pengiriman tanaman hias. Hampir setiap hari jadawal padat, begitu istilah kami.” Junaedhie dibantu oleh enam pekerja yaitu dua penjaga saungnya di BSD, dua orang bagian produksi, dan dua orang lagi bagian pengiriman.

Ketika sebelum terjadi tsunami, toekangkeboen.com mengirim ke pembelinya dari Lhokseumawe. Toekangkeboen.com, selain kota-kota di Pulau Jawa, pernah dapat pesanan dari Medan, Binjai, Tanjung Morawa sampai Luwuk di Sulawesi, dan bahkan ke Jayapura.

Sejauh ini KJ tidak kesulitan mengirim orderan. “Ke Jayapura bisa dicapai hanya dua hari saja. Lebih cepat jika pengiriman port-to-port. Maksudnya barang diambil sendiri oleh pembeli di bandara.

KJ yakin bisnis tanaman hias berprospek bagus di masa depan. “Indonesia begitu kaya floranya. Dan lahan juga banyak. Banyak tanaman-tanaman kita dibawa ke luar negeri, kemudian kembali lagi ke sini sudah menjelma menjadi hasil silangan yang mahal harganya,” ujar KJ.

“Sayangnya banyak anak-anak muda Indonesia yang justru malu menjadi petani. Susah benar mencari karyawan yang mau jadi petani. Hanya satu hari atau paling banter satu minggu, mereka keluar, dan memilih mengganggur daripada harus bekerja hanya jadi petani pula. Padahal mereka hanya tamat SLTA,” kata KJ mengeluh. (*)